para-paraadat.com – SORONG – Pembangunan smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arar di Kabupaten Sorong merupakan salah satu bentuk program hilirisasi yang merupakan program utama dari presiden dan wakil presiden terpilih (Prabowo-Gibran).
Salah satu perusahaan tambang nikel yang sudah beroperasi sangat lama di Provinsi Papua Barat Daya khususnya di Kabupaten Raja Ampat (Pulau Gag) adalah PT Gag Nikel yang adalah anak perusahaan dari PT Aneka Tambang (Antam) yang berkedudukan di Jakarta yang diminta untuk membangun smelter di kawasan KEK Arar Sorong namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda kapan akan mulai di bangun.
“Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya (Pemprov PBD) harus segera memanggil manajemen dari PT Gab Nikel dan PT Antam untuk mempertanyakan kesiapan kedua perusahaan ini untuk membangun smelter di KEK Arar Sorong,” ungkap mantan Anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Yulianus Thebu kepada media ini, Sabtu (28/9/2024).
Dikatakan Yulianus, apabila pembangunan smelter ini ditunda-tunda maka KEK Arar ini akan dicabut statusnya seperti yang didengungkan sebelum ada rencana pembangunan smelter.
“Jangan sampai benar terjadi, seperti yang diwacanakan sebelumnya bahwa KEK Arar Sorong akan ada pencabutan ijin dan status. Kalau sampai itu terjadi maka secara otomatis pengangguran dan kemiskinan ekstrim akan terjadi di Provinsi Papua Barat Daya,” terang Yulianus.
Dikatakan Yulianus, namun apabila kedua perusahaan tambang nikel itu secepatnya mengambil langkah untuk membangun maka akan banyak mendatangkan mafaat bagi pemerintah maupun masyarakat di provinsi Papua Barat Daya seperti penyerapan tenaga kerja untuk bekerja pada proyek tersebut serta dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setelah perusahaan itu beroperasi.
Selain itu juga kata Yulianus yang juga sebagai juru bicara dari pemilik hak ulayat atas Pulau Gag yaitu masyarakat adat Kawe meminta kepada PT GAG Nikel dan PT Antam untuk segera menyelesaikan tuntutan masyarakat adat Kawe terkait kompensasi atas penggunaan Pulau GAG sebagai areal pertambangan Nikel yang sudah berlangsung puluhan tahun dan tenaga kerja lokal yang tidak dilibatkan secara proporsional.
“Saya akui bahwa ada dana yang sudah diberikan kepada masyarakat tetapi secara tidak langsung namun dalam bentuk program dan juga ada tenaga kerja lokal yang bekerja pada PT GAG Nikel namun tenaga kerja lokal yang dipekerjakan dapat dihitung dengan jari,” tegas Yulianus mengakui.
Selain itu lanjut Yulianus, dampak lingkungan cukup dirasakan oleh masyarakat Kampung Gag seperti sedimentasi atau pendangkalan pesisir pantai akibat dari limbah berupa lumpur yang turun ke laut di saat musim penghujan dan saat musim panas atau kemarau debu memenuhi perkampungan yang mengakibatkan banyak masyarakat yang menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Sudah saatnya pemerintah serius melihat persoalan ini agar tidak merugikan semua pihak terutama masyarakat yang terkena dampak langsung dan secara umum Orang Asli Papua yang ada di Papua Barat Daya,” ujar Yulianus sembari menambahkan apabila PT GAG Nikel tidak membangun Smelter dan menyelesaikan persoalan sosial dan tuntutan masyarakat adat Kawe lebih baik untuk sementara PT GAG Nikel menghentikan kegiatan explorasi dan exploitasi bijih nikel di Pulau GAG,” tutup Yulianus. (**)